Translate
Share On
Home » All posts
Puasa sya'ban maqolah ulama
Puasa sya'ban maqolah ulama
Puasa Ramadhan merupakan salah satu kewajiban dan rukun islam. Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat puasa. Meskipun tidak mampu melaksanakan puasa Ramadhan, tapi mereka yang memang masih mampu berpuasa tetap diwajibkan membayar hutang puasa Ramadhan pada bulan lainnya sebelum datang Ramadahan selanjutnya.Namun tidak semua orang mampu memenuhi puasa selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan. Ada yang tidak mampu karena sakit atau dalam perjalanan, ada pula yang karena hamil menyusui atau menstruasi.Dari Abu Salamah, ia mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari, no. 1950; Muslim, no. 1146)Dalam riwayat Muslim disebutkan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَوْ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Sedangkan larangan berpuasa pada pertengahan Sya’ban tidaklah termasuk puasa ganti. Puasa ganti tetap harus dilaksanakan sebelum masuk bulan Ramadhan karena puasA Ramadhan merupakan kewajiban dan perkara pasti dalam Islam. Sebagaimana Firman Allah SWT:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184.Sebelum memulai puasa ganti, hendaknya jangan sampai lupa untuk membaca niat terlebih dahulu. Sebagaimana sabda Rasul: “Siapa saja yang belum berniat puasa sebelum terbit fajar maka tidak ada puasa baginya.” (H.R. Abu Daud dan Nasa’i; dinilai sahih oleh Al-Albani). Niat ganti puasa Ramadhan adalah sebagai berikut.
Namun beberapa orang terkadang menggabungkan puasa ganti Ramadhan dengan puasa sunnah Sya’ban. Mengenai perkara ini, para ulama masih berbeda pendapat. Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asbah wan Nadhair membagi dalam empat kriteria, yakni:
sah kedua-keduanya baik yang fardhu dan yang sunnah.
Puasa sya'ban maqolah ulama
- sah bagi ibadah fardhunya saja, tidak untuk ibadah sunnahnya.
- sah bagi ibadah sunnahnya saja, tidak untuk ibadah fardhunya.
- tidak sah kedua-duanya.
- Mengenai hukum pertama yang menyatakan kedua ibadahnya sah, misalnya saja ketika seseorang masuk masjid dan jamaah telah dimulai, kemudian dia niat sholat fardhu dan sekaligus berniat shalat tahiyyatul masjid. Maka Menurut mazhab Syafii keduanya sah dan mendapatkan pahala.
- Begitu juga seseorang yang mandi junub hari jum’at dengan mandi sunnah jum’at sekaligus. Termasuk dalam hal ini juga adalah mengucap salam di ujung shalat sebagai tanda selesainya shalat dan juga sekaligus mengucap salam untuk tamu yang baru masuk ruma.
- Sedangkan hukum kedua yang dianggap sah adalah yang fardhu saja. Misalnya orang yang melaksanakan ibadah haji untuk pertama kali, tetapi ia berniat haji wajib dan sekaligus berniat haji sunnah. Secara otomatis yang dianggap sah adalah yang wajib.
- Pada hukum ketiga yang menyatakan hukum sunnah yang dianggap sah, seperti seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat wajib dan sekaligus niat bersedekah, maka yang dianggap sah adalah sedekahnya bukan zakatnya.
- Dan yang terakhir pada hukum yang keempat adalah batal kedua-duanya, baik yang fardhu maupun yang sunnah. Misalnya ketika seseorang yang hendak sholat dengan niat shalat fardhu sekaligus juga shalat sunnah rawatib. Maka keduanya tidak sama-sama tidak disahkan.
Klasifikasi Mahram
Para ulama membagi mahram kedalam dua golongan besar yakni mahram yang bersifat abadi dan mahram yang bersifat sementara. Adapun tentang kedua golongan tersebut dapat disimak dalam penjelasan berikut ini
- Mahram Yang Bersifat Abadi
Para
ulama kemudian membagi lagi mahram yang bersifat abadi ini menjadi tiga
kelompok berdasarkan penyebabnya. Yaitu karena sebab hubungan nasab, karena
hubungan pernikahan (perbesanan dan karena persusuan)
a. Mahram Karena Nasab, terdiri dari
·
Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
·
Anak wanita dan seterusnya ke bawah seperti anak perempuannya anak
perempuan.
·
Saudara kandung wanita.
·
Ammat / Bibi (saudara wanita ayah)
·
Khaalaat / Bibi (saudara wanita ibu)
·
Banatul Akh / Anak wanita dari saudara laki-laki.
·
Banatul Ukht / anak wanita dari saudara wanita
b. Mahram Karena Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan yang termasuk didalamnya adalah
·
Ibu dari istri (mertua wanita).
·
Anak wanita dari istri (anak tiri).
·
Istri dari anak laki-laki (menantu peremuan).
·
Istri dari ayah (ibu tiri).
c. Mahram Karena Penyusuan, yang terdiri dari
·
Ibu yang menyusui.
·
Ibu dari wanita yang menyusui (nenek).
·
Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya (nenek juga).
·
Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan)
·
Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui.
·
Saudara wanita dari ibu yang menyusui.
2. Mahram Yang Bersifat
Sementara
KlasifikasiMahram
Selain mahram yang bersifat abadi, dalam islam juga dikenal mahram yang bersifat sementara, yang berarti seorang wanita yang tadinya haram dinikahi menjadi halal dikarenakan beberapa sebab. Adapun mahram yang bersifat sementara adalah sebagai berikut:
KlasifikasiMahram
Selain mahram yang bersifat abadi, dalam islam juga dikenal mahram yang bersifat sementara, yang berarti seorang wanita yang tadinya haram dinikahi menjadi halal dikarenakan beberapa sebab. Adapun mahram yang bersifat sementara adalah sebagai berikut:
·
Istri orang lain
tentunya tidak boleh dinikahi oleh pria manapun tapi bila sudah diceraikan atau
ditalak oleh suaminya, maka boleh dinikahi.
·
Saudara ipar, atau
saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat
atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari
istri. Namun bila hubungan suami istri dengan saudara dari ipar itu sudah
selesai atau dalam kata lain mereka bercerai baik karena cerai mati maupun
cerai hidup maka, maka ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi.
Demikian juga dengan bibi dari mantan istri.
·
Wanita yang masih dalam
masa Iddah. Masa iddah berarti masa tunggu seorang wanita akibat dicerai oleh
suaminya baik cerai hidup maupun cerai mati. Lama iddah seorang wanita adalah
tiga kali haid.
·
Istri yang telah ditalak
tiga (baca perbedaan talak satu, dua dan tiga), untuk sementara haram dinikahi
namun ia boleh kembali dinikahi apabila ia telah menikah dengan pria lain dan
kemudian bercerai. Tentunya dengan menunggu masa iddahnya juga.
·
Wanita yang sedang
melakukan ihram ibadah haji maupun umrah haram untuk dinikahi namun jika telah
selesai masa ihramnya maka ia boleh dinikahi.Wanita budak atau bukan wanita
merdeka tidak boleh dinikkahi seorang pria yang mampu menikah dengan seorang
wanita merdeka. Namun jika sang pria tidak mampu maka ia boleh menikahi wanita
budak tersebut.Wanita penzina hukumnya haram dinikahi dalam artian ia terus
melakukan zina.namun jika ia sudah bertobat dan tidak melakukannya lagi, ia
boleh dinikahi.
·
Wanita yang telah
dicerai suaminya dengan cara dilaknat atau dili’an haram untuk dinikahi kecuali
mantan suaminya telah menarik kembali kata-katanya dan meminta maaf pada sang
wanita ataupun sang wanita telah bertobat atas dasar celaannya itu.
·
Wanita nonmuslim juga
haram hukumnya untuk dinikahi namun jika wanita tersebut telah masuk islam atau
menjadi
·
mualaf ia boleh dinikahi atau halal hukumnya bagi pria untuk
menikahinya.
Demikian
pengertian mahram dan golongannya yang perlu diketahui. Ada baiknya kita
mengetahui perkara tersebut terutama bagi yang sedang mencari jodoh. Orang yang
sedang memilih calon pendamping hidup sebaiknya mengetahui apakah wanita
tersebut boleh dinikahi ataukah termasuk wanita yang haram dinikahiuntuk
menghindari terjadinya pernikahan sedarah. KlasifikasiMahram
Adapun sebelum menikah boleh didahului dengan proses ta’aruf dan tunangan dan mempelai perlu mengetahui syarat-syarat akad nikah termasuk wali yang akan menikahkanya apakah memenuhi syarat wali nikah atau tidak (baca juga urutan wali nikah). Semua hal tersebut perlu diperhatikan agar terwujud tujuan pernikahan dalam islam dan dapat membangun rumah tangga yang harmonis dan di rahmati Allah.
Bab Mahram
- Mahram karena nasab
Abdullah ibn Yusuf menyampaikan kepada kami, Malik mengabarkan pada kami, dari Abi al-Zinad, dari al-A’raj, dari Abi Hurairah ra: bahwasanya Rasulullah saw berkata: Janganlah kamu mengumpulkan (dalam pernikahan) perempuan dengan bibinya (dari pihak ayah) dan perempuan dengan bibinya (dari pihak ibu).
- Mahram karena sepersusuan
“Yahya ibn Yahya menyampaikan kepada kami, ia berkata: aku membacakan kepada Malik, dari ‘Abdillah ibn Abi Bakr, dari ‘Amrah, bahwasanya ‘Aisyah mengabarkan, ketika Rasulullah saw bersamanya, dan ketika ia mendengar suara laki-laki meminta izin untuk memasuki rumah Hafsah, ‘Aisyah berkata: aku berkata: Ya Rasulallah, laki-laki itu meminta izin memasuki rumahmu, maka Rasulullah saw bersabda: aku lihat dia adalah si fulan paman sesusuan Hafsah- maka ‘Aisyah berkata: ya Rasulullah, seandainya fulan paman sesusuan ‘Aisyah masih hidup, bolehkan ia masuk ke rumahku? Rasulullah saw bersabda: ya, sesungguhnya susuan mengharamkan apa yang diharamkan olehhubungan kelahiran (darah).
- Mahram karena sedang dalam Ihram haji atau umrah
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, dia berkata: Kudapatkan dari Malik dari Nafi‟ dari Nubaih bin Wahab dari Umar bin Abdullah ketika Thalhah bin Umar ingin menikahi anak perempuan Syaibah bin Jabir, maka telah mengirimkan kabar kepada Aban bin Usman yang hadir ketika itu dan dia adalah pemimpin Jama‟ah Haji, Aban Berkata aku mendengar usman bin Affan berkata Rasulullah SAW. Bersabda orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, dinikahkan atau melamar ”(H.R. Muslim).
Pengertian Mahram dalam Islam
Pengertian Mahram dalam Islam
Kita sering mendengar istilah mahram. Biasanya kalimat “maaf bukan muhrim’ akan terdengar saat seorang wanita atau pria menolak untuk berjabat tangan atau bersentuhan dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan dengan dirinya. mahram ini sebenarnya berkaitan dengan pernikahan dan hubungan lain yang diantaranya menentukan boleh tidaknya aurat wanita terlihat dan sebagainya. Lalu apakah yang sebenarnya disebut dengan mahram dan siapa saja yang digolongkan ke dalam istilah mahram ini. Simak penjelas berikut ini :
arab yang berarti haram dinikahi baik nikah secara resmi maupun nikah siri. Mahram juga berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi dan yang dimaksud dengan keharaman menikahi wanita adalah menyangkut boleh atau tidaknya melihat aurat, dan hubungan baik langsung maupun tidak langsung.
Pengertian Mahram dalam Islam
Mahram tersebut bisa bersifat langsung artinya orang-orang yang memiliki darah yang sama otomatis menjadi mahram dan ada pula hubungan yang tidak langsung seperti mahram yang diakibatkan oleh hubungan pernikahan misalnya saja seorang wanita yang sudah menikah dan bersuami maka ia haram hukumnya untuk dinikahi oleh orang lain. Demikian pula para wanita yang masih berada dalam masa iddah setelah talak (baca hukum talak dalam pernikahan) dan termasuk juga wanita yang tidak beraga islam atau kafir non kitabiyah seperti Hindu, Budha dan majusi.
Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun dan Syarat Pernikahan
Pernikahan dalam islam memiliki beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar pernikahan tersebut sah hukumnya di mata agama baik menikah secara resmi maupun nikah siri. Berikut ini adalah syarat-syarat akad nikah dan rukun yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan misalnya nikah tanpa wali maupun ijab kabul hukumnya tidak sah.
a. Rukun Nikah
Rukun pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan pernikahan, mencakup :
- Calon mempelai laki-laki dan perempuan
- Wali dari pihak mempelai perempuan
- Dua orang saksi
- Ijab kabul yang sighat nikah yang di ucapkan oleh wali pihak perempuan dan dijawab oleh calon mempelai laki-laki.
b. Syarat Nikah
Adapun syarat dari masing-masing rukun tersebut adalah
1. Calon suami dengan syarat-syarat berikut ini
- Beragama Islam
- Berjenis kelamin Laki-laki
- Ada orangnya atau jelas identitasnya
- Setuju untuk menikah
- Tidak memiliki halangan untuk menikah
2. Calon istri dengan syarat-syarat
- Beragama Islam ( ada yang menyebutkan mempelai wanita boleh beraga nasrani maupun yahudi)
- Berjenis kelamin Perempuan
- Ada orangnya atau jelas identitasnya
- Setuju untuk menikah
- Tidak terhalang untuk menikah
3. Wali nikah dengan syarat-syarat wali nikah sebagai berikut
- Laki-laki
- Dewasa
- Mempunyai hak perwalian atas mempelai wanita
- Adil
- Beragama Islam
- Berakal Sehat
- Tidak sedang berihram haji atau umrah
4. Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut ini ;
- Minimal terdiri dari dua orang laki-laki
- Hadir dalam proses ijab qabul
- mengerti maksud akad nikah
- beragama islam
- Adil
- dewasa
5. Ijab qobul dengan syarat-syarat, harus memenuhi syarat berikut ini :
- Dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak baik oleh pelaku akad dan penerima aqad dan saksi. Ucapan akad nikah juga haruslah jelas dan dapat didengar oleh para saksi.
Fikih pernikahan atau munakahat adalah salah satu ilmu yang mesti dipelajari dan diketahui umat islam pada umumnya agar pernikahan dapat berjalan sesuai dengan tuntunan syariat agama dan menghindarkan hal-hal yang dapat membatalkan pernikahan.
Rukun dan Syarat Pernikahan
Hukum Pernikahan
Hukum Pernikahan
Dalam agama islam pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan dengan kondisi atau situasi orang yang akan menikah. Berikut hukum pernikahan menurut islam.
- Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk meinkah dan jika tidak menikah ia bisa tergelincir perbuatan zina
- Sunnah, berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah namun jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir perbuatan zina
- Makruh, jika ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menahan diri dari zina tapi ia memiliki keinginan yang kuat untuk menikah
- Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menghindarkan diri dari zina, ia hanya menikah untuk kesenangan semata
- Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan jika menikah ia akan menelantarkan istrinya atau tidak dapat memenuhi kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya istri tidak dapat memenuhi kewajiban istri terhadap suaminya. Pernikahan juga haram hukumnya apabila menikahi mahram atau pernikahan sedarah.
Dasar Hukum Pernikahan
Dasar Hukum Pernikahan
Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang menjadikannya disarankan untuk dilakukan oleh umat islam. Adapun dasar hukum pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).
”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).
”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.
Bab Pernikahan
Pengertian menurut etimologi
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut denganberasal dari kata an-nikh dan azziwaj yang memiliki arti melalui, menginjak, berjalan di atas, menaiki, dan bersenggema atau bersetubuh. Di sisi lain nikah juga berasal dari istilah Adh-dhammu, yang memiliki arti merangkum, menyatukan dan mengumpulkan serta sikap yang ramah. adapun pernikahan yang berasalh dari kata aljam’u yang berarti menghimpun atau mengumpulkan. Pernikahan dalam istilah ilmu fiqih disebut ( زواج ), ( نكاح ) keduanya berasal dari bahasa arab. Nikah dalam bahasa arab mempunyai dua arti yaitu ( الوطء والضم ) baik arti secara hakiki ( الضم ) yakni menindih atau berhimpit serta arti dalam kiasan ( الوطء ) yakni perjanjian atau bersetubuh.
Pengertian Menurut Istilah
Adapun makna tentang pernikahan secara istilah masing-masing ulama fikih memiliki pendapatnya sendiri antara lain :
- Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang membuat pernikahan menjadikan seorang laki-laki dapat memiliki dan menggunakan perempuan termasuk seluruh anggota badannya untuk mendapatkan sebuah kepuasan atau kenikmatan.
- Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal حُ حاكَكنِن , atau كَ ز كَ وا حُ ج , yang memiliki arti pernikahan menyebabkan pasangan mendapatkan kesenanagn.
- Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad atau perjanjian yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tanpa adanya harga yang dibayar.
- Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafal انِ نْ ن كَ كا حُ ح atau كَ نْ نِ و نْ حُ ج yang artinya pernikahan membuat laki-laki dan perempuan dapat memiliki kepuasan satu sama lain.
- Saleh Al Utsaimin, berpendapat bahwa nikah adalah pertalian hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat menikmati yang lain dan untuk membentuk keluaga yang saleh dan membangun masyarakat yang bersih
- Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, menjelaskan bahwa nikah adalah akad yang berakibat pasangan laki-laki dan wanita menjadi halal dalam melakukan bersenggema serta adanya hak dan kewajiban diantara keduanya.
Darah Yang Keluar Ketika Sedang Hamil
Jika seorang perempuan melihat darah ketika sedang dalam keadaan hamil maka darah tersebut dianggap darah haid menurut pendapat yang kuat dalam Mazhab Syafii. Ini dengan catatan jika darah tersebut memenuhi syarat darah haid, yaitu keluar lebih dari satu hari satu malam (24 jam) dan kurang dari 15 hari. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka darah tersebut dianggap darah istihadhah (darah penyakit).
Masa Kehamilan
Masa terpendek seorang perempuan hamil (sampai melahirkan) adalah enam bulan. Hal ini didasarkan pada pemahaman dua ayat berikut:
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Luqmaan: 12)
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaaf: 15).
Jika masa menyapih adalah dua tahun (24 bulan) dan masa mengandung sampai menyapih adalah 30 bulan maka disimpulkan bahwa masa mengandungnya saja adalah enam bulan. Inilah masa terpendek kehamilan.
Oleh karena itu, jika ada seorang yang melahirkan seorang anak dalam keadaan hidup kurang dari enam bulan dari waktu akad menikah maka anak tersebut dianggap bukan anak hasil pernikahan tersebut dan tidak dinasabkan kepada suami dari perempuan itu.
Darah Yang Keluar Ketika Sedang Hamil
Adapun masa rata-rata kehamilan adalah sembilan bulan sebagaimana kebiasaan umumnya para perempuan.
Dan masa terlama kehamilan menurut Imam Syafii adalah empat tahun. Masa sepanjang ini meskipun dapat dikatakan sangat jarang bahkan mungkin mustahil, tapi hal itu pernah terjadi. Oleh karena itulah Imam Syafii menetapkan batas waktu tersebut.
Hukum Perempuan Istihadoh
Hukum perempuan yang memiliki darah istihadah
Perempuan yang mendapatkan darah istihadah (mustahadah) berbeda dengan perempuan yang mendapatkan haid atau nifas. Perempuan mustahadah tetap harus melaksanakan shalat. Shalatnya sah dan tidak perlu diulang. Jika datang puasa Ramadhan ia harus berpuasa. Dan suaminya juga boleh menggaulinya meskipun masih ada darah yang keluar.
Jika seorang perempuan mustahadah hendak melaksanakan shalat maka ada beberapa hal yang harus ia lakukan, yaitu:
- Membersihkan semua najis yang ada di tubuh atau pakaiannya termasuk darah.
- Menyumpal bagian yang mengeluarkan darah dengan kapas atau sejenisnya kecuali jika merasa sakit karenanya atau ia sedang dalam keadaan puasa karena kapas itu dapat membatalkan puasanya. Jika penyumpalan tidak cukup maka ia harus memasang sejenis kain perban, seperti pembalut.
- Ia harus bersegera untuk berwudhu. Disyaratkan dalam wudhunya harus setelah masuk waktu shalat dan harus berkelanjutan (muwalah).
- Setelah itu ia harus segera melaksanakan shalat dan tidak boleh ditunda kecuali untuk melakukan tindakan yang berkaitan dengan shalat seperti menjawab azan, melaksanakan shalat sunah qabliyah dan menunggu jamaah shalat.
Hukum Darah Istihadoh
Darah Istihadah
Darah istihadah (darah penyakit) adalah darah yang muncul setelah masa terlama dari haid atau nifas. Atau darah istihadah adalah darah yang keluar pada selain waktu haid atau nifas.
Diriwayatkan oleh Aisyah RA bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy RA mengalami darah istihadhah. Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya:
إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِي، وَصَلِّي، فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
“Sesungguhnya darah haid adalah darah hitam yang sudah diketahui. Jika datang itu maka tahanlah dari melaksanakan shalat. Jika yang terlihat adalah yang lain maka berwudhulah dan laksanakanlah shalat, karena sesungguhnya darah itu hanya darah yang mengalir keluar.” (HR. Abu Daud dan Nasa`i).
Terdapat beberapa istilah yang biasa dipakai dalam masalah istihadah, yaitu:
1. Mubtada`ah, yaitu perempuan yang baru pertama kali mendapatkan haid.
2. Mumayyizah, yaitu perempuan yang mampu membedakan warna maupun sifat darah yang terlihat pada dirinya.
Warna darah haid ada lima sesuai dengan tingkat kepekatannya, yaitu hitam, merah, orange (merah dan kuning) kuning dan abu-abu.
Sifat darah haid dibagi menjadi dua, yaitu kuat dan lemah. Darah yang kuat dilihat dari tiga hal, yaitu kekentalan, bau dan kepekatan warna. Sementara darah yang lemah adalah kebalikannya.
Suatu darah dinyatakan juga sebagai darah kuat jika memiliki lebih banyak sifat kuat. Misalnya darah yang memiliki tiga sifat lebih kuat dari yang memiliki dua sifat, seperti hitam kental berbau lebih kuat dari hitam kental tidak berbau. Jika dua darah memiliki derajat yang sama, seperti hitam tidak kental dan merah kental, maka darah yang muncul pertama adalah darah haid.
Dalam membedakan sifat darah ini harus memenuhi beberapa syarat berikut:
- Sifat kuat tidak boleh tampak kurang dari masa terpendek haid (satu hari satu malam).
- Sifat kuat tidak boleh tampak lebih dari masa terlama haid (15 hari).
- Sifat lemah tidak boleh tampak kurang dari masa terlama suci (15 hari).
- Sifat lemah harus tampak secara bersambung (tidak terputus).
3. Mu’tadah, yaitu perempuan yang pernah mendapatkan haid dan masa suci.
4. Mutahayyirah, yaitu perempuan yang tidak ingat kebiasaan haidnya baik dalam jumlah hari maupun waktu kemunculannya (awal, pertengahan atau akhir bulan).
Hukum darah istihadah dalam siklus haid
Darah istihadah memiliki tujuh bentuk yang terbagi dalam dua bagian besar, yaitu:
1. Mubtada`ah. Yaitu perempuan yang baru pertama kedatangan haid. Perempuan ini ada dua macam, yaitu yang melihat darahnya berbeda sifat (mumayyizah) dan yang tidak melihat darahnya berbeda sifat (tidak mumayyizah) atau salah satu syarat membedakan sifat darah tidak terpenuhi.
1.a. Mumayyizah.
Maksudnya: seorang perempuan baru pertama melihat darah dan terlihat bahwa darahnya memiliki sifat yang berbeda, misalnya hitam lalu merah, kental lalu tidak, atau sebaliknya.
Hukumnya: darah yang kuat adalah haid dan darah yang lemah adalah darah istihadah.
Misalnya, seorang perempuan mengatakan: “Terlihat darah pada diri saya untuk pertama kali selama 20 hari berturut-turut. Tiga hari diantaranya adalah darah berwarna hitam (sifat kuat) dan tujuh belas hari adalah darah merah (sifat lemah).” Maka kita menghukumi bahwa haidnya adalah tiga hari dan istihadahnya adalah tujuh belas hari.
1.b. Tidak mumayyizah.
Maksudnya: perempuan yang baru pertama kedatangan haid dan darahnya terlihat dalam satu sifat, misalnya terlihat merah semua. Atau perempuan yang tidak dapat memenuhi syarat membedakan darah.
Hukumnya: haidnya adalah satu hari satu malam dan masa sucinya adalah 29 hari. Hukum ini jika perempuan tersebut mengetahui awal permulaan datangnya darah. Namun, jika tidak maka ia dianggap sebagai mutahayyirah.
2. Mu’tadah. Yaitu perempuan yang sudah pernah kedatangan haid. Perempuan ini memiliki empat keadaan, yaitu:
2.a. Mumayyizah.
Maksudnya: perempuan yang sudah pernah haid dan suci, serta melihat darah yang berbeda.
Hukumnya: yang dijadikan ukuran adalah yang terlihat dari sifat darah, meskipun menyelisihi kebiasaannya karena perbedaan sifat lebih kuat dari kebiasaan dan karena sifat itu adalah tanda darah yang menunjukkan keadaan dari pemiliknya.
Misalnya, seorang perempuan berkata, “Saya haid pada bulan lalu selama 5 hari, lalu suci. Pada bulan ini saya melihat darah selama 25 hari. 10 hari berwarna hitam dan dan 15 hari berwarna merah.” Maka kita menghukumi bahwa haidnya adalah 10 hari dan sisanya adalah istihadah.
2.b. Tidak mumayyizah.
Maksudnya: perempuan yang sudah pernah kedatangan haid dan suci tetapi tidak melihat sifat darah yang berbeda (semuanya sama). Keadaan ini terbagi menjadi tiga yaitu:
1) Ingat kebiasaannya baik jumlah hari maupun waktu terjadinya (awal, pertengahan atau akhir bulan).
Hukumnya: dikembalikan kepada kebiasaan perempuan tersebut baik dari segi jumlah hari maupun waktu haid. Kebiasaan ini diukur dengan haid pada bulan sebelumnya.
Misalnya, seorang perempuan berkata, “Haid saya pada bulan lalu adalah 7 hari. Lalu pada bulan ini saya melihat darah selama 17 hari dalam warna saya sama.” Maka kita menghukuminya bahwa haidnya adalah 7 hari sesuai dengan haid bulan lalu karena ini adalah kebiasaannya, dan sisanya –yaitu 10 hari– adalah darah istihadah.
2) Lupa kebiasaannya baik jumlah hari maupun waktu (mutahayyirah).
Misalnya, seorang perempuan kedatangan darah selama 20 hari dalam satu sifat, tapi ia lupa jumlah hari haidnya dan apakah haidnya di awal, pertengahan atau akhir bulan.
Hukumnya: perempuan ini dihukumi sebagai perempuan haid selama masa 20 hari tersebut dalam hal larangan digauli oleh suaminya, larangan membaca Alquran di luar shalat, memegang dan membawa Alquran serta berdiam dan melewati masjid jika khawatir mengotorinya.
Tetapi dihukumi sebagai perempuan yang suci (tidak haid) dalam masalah kewajiban melaksanakan shalat dan puasa, kebolehan bertawaf dan i’tikaf (jika tidak khawatir mengotori masjid) serta kebolehan menceraikannya.
3) Ingat kebiasaannya dalam jumlah hari saja tanpa waktu.
Misalnya, seorang perempuan berkata, “Haid saya bulan lalu adalah 5 hari pada sepuluh hari pertama bulan lalu tapi saya tidak tahu hari keberapa mulainya. Namun, saya ingat bahwa hari pertama masih dalam keadaan suci. Sementara di bulan ini, darah datang secara penuh dalam satu bulan.”
Maka hukum perempuan ini adalah bahwa hari ke-6 adalah haid. Hari pertama adalah suci. Begitu pula 20 hari sisanya (hari ke-11 hingga akhir bulan). Hari ke-2 hingga ke-5 memiliki kemungkinan suci atau haid. Begitu pula hari ke-7 hingga ke-10. Untuk masa yang memiliki kemungkinan suci atau haid dihukumi seperti perempuan yang mutahayyirah (yang tidak mengetahui jumlah hari maupun waktu kemunculan haidnya).
4) Ingat kebiasaannya dalam waktu saja tanpa jumlah hari.
Misalnya seorang perempuan berkata, “Haid saya terjadi di awal bulan tetapi tidak tahu jumlah harinya. Di bulan ini darah datang penuh dalam sebulan.”
Hukumnya: hari pertama adalah haid. Hari ke-16 hingga ke-30 dari bulan ini (bulan terakhir) adalah suci. Hari ke-2 hingga ke-15 memiliki kemungkinan suci atau haid sehingga dihukumi sebagai perempuan mutahayyirah.
Hukum darah istihadah dalam masa nifas
Jika seorang perempuan sedang dalam keadaan nifas lalu muncul darah istihadah (setelah lewat 60 hari) maka hukumnya seperti hukum istihadah dalam haid.
- Mubtada`ah dan mumayyizah.
Yaitu perempuan yang baru pertama nifas dan melihat darah yang berbeda dari nifasnya. Hukumnya adalah darah yang memiliki sifat kuat adalah darah nifas jika tidak lebih dari 60 hari.
- Mubtada`ah tapi tidak mumayyizah.
Yaitu perempuan yang pertama nifas dan melihat kesamaan sifat darah nifasnya. Hukumnya adalah bahwa nifasnya hanya sekejap (batas terpendek nifas).
- Mu’tadah dan mumayyizah.
Yaitu perempuan yang pernah nifas dan melihat perbedaan sifat darah nifasnya. Hukum nifasnya dikembalikan kepada perbedaan warna bukan kepada kebiasaannya (nifas terakhir). Darah dengan sifat kuat adalah nifas dan darah dengan sifat lemah adalah istihadah.
- Mu’tadah tapi tidak mumayyizah dan ingat waktu nifas dan jumlah hari.
Yaitu perempuan yang pernah nifas dan melihat kesamaan sifat darah nifasnya serta ingat waktu nifas dan jumlah harinya. Hukum nifasnya dikembalikan kepada kebiasaan nifas (nifas terakhir).
- Mu’tadah tapi tidak mumayyizah dan tidak ingat waktu nifas dan jumlah hari.
Yaitu perempuan yang pernah nifas dan melihat kesamaan darah nifasnya namun tidak ingat waktu nifas sebelumnya dan jumlah harinya. Hukumnya adalah bahwa nifasnya hanya sekejap (jarak nifas terpendek), tapi setelah itu ia harus mandi setiap kali akan melaksanakan ibadah wajib –seperti shalat lima waktu– hingga sempurna 60 hari. Setelah itu, jika darah masih ada maka ia wajib berwudhu untuk setiap ibadah wajib.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)